NLP itu Pseudosains, Tidak Ilmiah!
Wikipedia mengatakan NLP (Neuro-Linguistic Programming) adalah pseudosains — sebuah ilmu palsu alias tidak ilmiah. Pernyataannya sebagai berikut:
Neuro-linguistic programming (NLP) is a pseudoscientific approach to communication, personal development, and psychotherapy created by Richard Bandler and John Grinder in California, United States, in the 1970s.
Apa yang dimaksud dengan pseudosains? Pseudosains merujuk pada suatu bidang yang menyerupai ilmu pengetahuan namun sebenarnya bukan merupakan ilmu pengetahuan. Pseudosains berusaha menjelaskan sebuah fenomena dengan istilah-istilah ilmiah, namun sebenarnya tidak ilmiah sama sekali.
Benarkah NLP demikian? Mari kita bahas.
Pertama, sejak awal NLP memang tidak memposisikan dirinya untuk digunakan sebagai kajian akademik. Dengan kata lain, memang tidak ada niatan untuk menjadi “ilmiah” di awal pengembangannya. Fokus NLP adalah mengkaji praktik terbaik dan menerapkannya untuk diri sendiri. Jadi memang fokusnya ke kepraktisan, bukan keilmiahan. Apakah model yang dihasilkan bisa digunakan atau tidak, bukan ilmiah atau tidak.
Lalu, jika tidak diniatkan menjadi ilmiah, mengapa NLP menggunakan istilah-istilah yang nampak ilmiah? Dari namanya saja kelihatan ilmiah. Nampak ilmiah itu yang bagaimana? NLP menggunakan istilah leterlek sesuai dengan penggunaannya kok. Misal, istilah neuro-linguistic digunakan karena ini menggambarkan keterkaitan bahasa dan pikiran dengan sangat baik. Bahkan, istilah ini sendiri bukan diciptakan oleh Bandler dan Grinder. Mereka meminjamnya dari Albert Korzybski. Berikut kutipan dari buku Korzybski yang berjudul Science and Sanity: An Introduction to Non-Aristotelian System and General Semantics yang diterbitkan pada tahun 1933:
“In the work of general semantics we deal with the living neuro-semantic and neuro-linguistic reactions, not mere detached verbal chatter in the abstract. In our experience we have found that even seriously maladjusted persons benefit considerably if we can succeed in making them ‘think’ about themselves in neurological electrocolloidal terms.”
Demikian pula istilah yang digunakan di dalam NLP, misalnya internal representation untuk pikiran, ya memang demikian fungsi pikiran. Internal Re-presentation artinya kan mempresentasikan ulang secara internal di dalam benak kita.
Kedua, fokus NLP adalah mengkaji pengalaman subyektif manusia. Sementara ilmu pengetahuan/sains menginginkan obyektivitas. Nah, jika NLP adalah kajian tentang pengalaman subyektif manusia, bagaimana kita bisa membuat standarisasinya secara obyektif? Bandler pernah berkata “Ketika kita mempelajari subyektivitas, percuma berusaha menjadi obyektif.”
Jadi paradigma yang digunakan memang berbeda. Ditinjau dari filsafat ilmu, ontology NLP masuk ke dalam kategori idealisme (meyakini bahwa realitas itu subyektif) bukan materialisme (meyakini bahwa realitas itu obyektif). Sementara secara etimologi, NLP masuk dalam kelompok constructivist (meyakini bahwa tidak ada realitas tunggal, semua realitas perlu diinterpretasikan) bukan positivist (bahwa hanya ada satu realitas, dunia ini obyektif dan dapat diketahui dengan pasti cara kerjanya melalui “metode ilmiah,” observasi dan pengukuran). Masalahnya, mazhab standar ilmiah dalam ilmu pengetahuan cenderung ke materialisme dan positivist. Lalu bagaimana NLP dapat diukur dengan cara-cara standar sementara paradigma awalnya berbeda?
Ketiga, mengkritisi sebuah ilmu dan mengecapnya sebagai tidak ilmiah sebaiknya menggunakan pendekatan ilmiah juga. Bukan menggunakan prasangka atau ketidaksukaan. Jika diawali dengan prasangka dan ketidaksukaan, maka akan terjadi bias saat meneliti NLP.
- Sampai detik ini ada sekitar 400 paper akademik terkait NLP, daftarnya dapat dilihat di https://www.huecker.com/cgi-bin/research/nlp-rdb.cgi?action=res_entries
- EANLPt menerbitkan jurnal dengan peer review terkait riset NLP dalam psikoterapi sejak 1995 https://www.eanlpt.org/Research
- NLP Wiki juga membuat list penelitian terkait teknik-teknik NLP http://www.nlpwiki.org/nlp-research-information-document.pdf
Nah, penelitian yang memang belum tembus ribuan ini dengan mudahnya diabaikan jika kita sudah memiliki prasangka atau ketidaksukaan terhadap NLP. Sampai-sampai Professor Bruce Arroll dan Associate Professor Suzanne Henwood membuat artikel khusus terkait ini berjudul “NLP Research, Equipoise and Reviewer Prejudice” (Riset NLP, Keberimbangan dan Prasangka Pengulas) — baca di https://www.ia-nlp.org/pdfdocs/ScientificResearch_Phobia_NZ_SuzanneHenwood_Rapport_Report.pdf untuk artikel lengkapnya.
Ini terjadi pada editor Wikipedia yang bertanggungjawab menangani laman NLP. Wikipedia seharusnya tetap netral (setidaknya itu menurut kebijakan editorialnya), namun sang editor yang menangani laman NLP, Dave Snowden, sudah memiliki prasangka buruk terhadap NLP. Di blog pribadinya, ia sudah memiliki penilaian negatif tentang NLP. Jika demikian, bagaimana ia bisa tetap netral dan obyektif menilai dan menuliskan artikel tentang NLP di Wikipedia? Terkait ini, baca lebih lanjut di https://inlpcenter.org/nlp-wikipedia-page/
Jadi, sebelum menyimpulkan NLP itu pseudosains, silakan kaji referensi di atas. Kemudian, jika ingin mempelajari NLP melalui buku, pastikan buku itu memang layak dipelajari. Buku yang membedah NLP tanpa dicampur dengan metode lainnya.
Untuk pemahaman NLP secara umum, rekomendasi saya adalah buku-buku sebagai berikut:
- The User’s Manual For The Brain, Bob G. Bodenhamer & Michael Hall.
- Introducing NLP: Psychological Skills for Understanding and Influencing People, Joseph O’ Connor.
- Neuro-Linguistic Programming: Volume I (The Study of the Structure of Subjective Experience), Robert Dilts.
- NLP: The New Technology of Achievement, Steve Andreas.
Semoga bermanfaat.