Mengapa di Usia 40an Kita Tidak Bahagia?

Darmawan Aji
8 min readJan 6, 2025

--

Pada tahun 2018, Jonathan Rauch menerbitkan sebuah buku berjudul “The Happiness Curve.” Ia mengumpulkan berbagai riset tentang kadar kebahagiaan seseorang seiring dengan perubahan usianya. Kesimpulan yang ia dapatkan sangat menarik: kebahagiaan seseorang di berubah mengikuti kurva U. Di masa kecil kita sangat bahagia, kemudian kebahagiaan kita berkurang seiring berjalannya waktu. Hingga akhirnya di usia 40an, kebahagiaan seseorang akan berada di lembah terdalam, rata-rata orang merasa sangat tidak bahagia dengan hidupnya di usia itu.

Image: https://www.here.life/blog/the-little-known-happiness-curve

Ada yang mengaitkan fenomena ketidakbahagiaan di usia 40an ini dengan midlife crisis atau krisis paruh baya. Midlife crisis adalah fase saat seseorang meragukan kehidupan, hubungan, pekerjaan dan pencapaiannya. Fase saat seseorang mengalami krisis eksistensi dan identitasnya. Fase ini biasanya terjadi di antara usia 40an sampai 60an. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960an oleh Elliott Jacques, seorang psikoanalis.

Apa gejala yang muncul di fase ini? Ada banyak. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Gelisah: susah tidur, sulit beristirahat atau bersantai karena kecemasan atau kebosanan.
  2. Gampang tersinggung:cepat marah oleh hal sepele yang dilakukan oleh pasangan, orang tua, atau teman dekat.
  3. Perilaku impulsif: makan berlebihan, belanja sesuatu tanpa pertimbangan, hanya berdasar dorongan sesaat.
  4. Perubahan pada dorongan seksual.
  5. Perubahan ambisi: tiba-tiba ingin pindah kota, beli rumah baru, cari pekerjaan baru — sebagai balas dendam atas kesalahan masa lalu.

Apa sebenarnya yang menyebabkan krisis ini? Karena sepertinya ada paradoks di sini. Secara logis, di usia 40an karier dan materi yang dicapai seseorang biasanya sedang ada di puncaknya. Mengapa orang-orang justru merasa kurang bahagia?

Pertanyaan yang lebih penting, apakah fenomena ini terjadi pada semua orang?

Midlife Crisis atau Midlife Transition?

Jonathan Rauch mengatakan, fenomena kurva bahagia ini normal dan alamiah. Terjadi di berbagai budaya dan negara. Bahkan, ini juga terjadi pada primata, bukan hanya manusia. Namun, klaim ini sepertinya perlu dikritisi. Karena, meskipun secara umum berbentuk U, namun bentuk kurvanya berbeda-beda di setiap negara. Perhatikan grafik berikut ini:

Image: https://csegrecorder.com/columns/view/science-break-201506

Artinya, titik paling tidak bahagia di setiap daerah itu berbeda.

Apalagi jika kita melihat kurva kebahagiaan terbaru yang rilis tahun 2022 (ingat, buku Raunch terbit pada 2018). Grafiknya berubah secara drastis. Kebahagiaan seseorang justru semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Image: https://www.scientificamerican.com/article/young-adulthood-is-no-longer-one-of-lifes-happiest-times/

Kemudian, jika dikaitkan dengan midlife crisis, ada penelitian menyebutkan hanya 23% orang yang mengalami midlife crisis. Menariknya, dari 23% ini hanya 8% yang mengaitkan situasinya dengan midlife crisis, 15% sisanya mengaku mengalami situasi krisis karena mengalami peristiwa besar atau transisi dalam hidup mereka seperti perceraian atau kehilangan pekerjaan. Dan menariknya lagi, mereka yang mengalami midlife crisis, ternyata memiliki sejarah depresi di masa lalunya.

Apa artinya? Fenomena ketidakbahagiaan di pertengahan usia dan midlife crisis ini bukan fenomena yang bisa digeneralisasi. Tidak setiap orang mengalaminya. Bahkan, andaipun fenomena itu terjadi, gejala yang muncul tidak selalu negatif seperti yang saya sampaikan sebelumnya. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan adanya perubahan positif yang terjadi di pertengahan usia seseorang.

Pertama, kita menyadari bahwa akumulasi materi tidak bisa membuat kita bahagia.

Penelitian berjudul “Age-related changes in materialism in adults — A self-uncertainty perspective” yang diterbitkan dalam Journal of Research in Personality menunjukkan bahwa tingkat materialisme seseorang — yaitu pentingnya kepemilikan dan perolehan barang — cenderung menurun seiring bertambahnya usia.

Kedua, kita mulai menerima apa yang tidak bisa kita ubah.

Berbagai penelitian menyebutkan, orang-orang di usia 40an cenderung menjadi lebih sadar diri, lebih stabil emosinya, lebih menerima diri, dan lebih empatik terhadap orang lain,

Ketiga, kita menjadi lebih bijaksana

Keseluruhan perubahan ini membuat orang menjadi lebih bijaksana. Menurut neuropsikolog Vivian Clayton, kebijaksanaan adalah senyawa tiga komponen: kognitif, reflektif, dan welas asih. Perubahan-perubahan yang terjadi di pertengahan usia membuat kita semakin dewasa dan bijaksana.

Perubahan-perubahan kesadaran yang positif ini yang membuat sebagian psikolog lebih menyukai istilah midlife transition alih-alih midlife crisis. Bisa jadi perubahan kesadaran ini juga yang menyebabkan kurva kebahagiaan setelah melalui titik terendah akan meningkat kembali seiring bertambahnya usia.

Menyiapkan Diri Menghadapi Midlife Transition

Apa yang dialami seseorang di pertengahan usianya bisa negatif atau positif, karenanya kita perlu mempersiapkannya sejak dini. Tujuannya agar perubahan yang terjadi di pertengahan usia kita menjadi perubahan yang membuat kita bertumbuh. Perubahan yang positif. Pertanyaannya, apa yang perlu kita siapkan?

Pertama, kelola ekspektasi.

Kebahagiaan kita bergantung pada ekspektasi lebih dari yang lainnya. Saya membaca kutipan ini saat membaca buku Same as Ever karya Morgan Housel. Di buku tersebut, saya menemukan kutipan lain yang tidak kalah menarik:

“Jika kita hanya ingin bahagia, itu mudah; namun jika kita ingin lebih bahagia dari pada orang lain, itu sulit, karena kita selalu berpikir orang lain lebih bahagia dari pada kita.” — Montesquieu

Orang bahagia dan tidak bahagia bukan karena apa yang mereka miliki atau tidak miliki, namun karena ekspektasi mereka. Saat seseorang memiliki ekspektasi yang tidak realistis, di sanalah kebahagiaannya tergerus.

Ketidakbahagiaan seseorang semakin menguat ketika ia mulai membandingkan pencapaiannya dengan orang lain. Ekspektasi yang tercipta semakin tidak realistis. Kita membandingkan dua kehidupan yang tidak apple to apple.

Kita melihat, teman kita liburan ke luar negeri setahun dua kali lalu membandingkannya dengan diri kita “kenapa saya nggak bisa seperti dia?”

Bisnis teman kita nampak lebih sukses, kita membandingkannya dengan diri kita, lalu berpikir “kenapa saya tidak bisa seperti dia?”

Hubungan teman kita dengan pasangannya sangat romantis, kita membandingkan dengan pasangan kita, lalu berpikir “kenapa pasangan saya tidak seperti pasangan dia?”

Karier teman kita lancar, kita membandingkan dengan diri kita, lalu berpikir “kenapa karier saya tidak semulus dia?”

Dalam filosofi Jawa kita mengenal hal ini dengan istilah sawang sinawang atau saling memandang. Hidup itu hanya saling memandang. Kita melihat orang lain seakan-akan lebih sukses dan bahagia dibandingkan kita. Padahal, apa yang kiat lihat dari permukaan belum tentu seindah kenyataan.

Fenomena sawang sinawang dan ekspektasi yang tidak realistis ini semakin menguat setelah hadirnya media sosial.

Riset menunjukkan adanya korelasi positif antara meningkatnya screen time dengan menurunnya kebahagiaan seseorang. Semakin tinggi screen time, semakin rendah kebahagiaan yang dirasakan seseorang.

Image: https://worldhappiness.report/ed/2019/the-sad-state-of-happiness-in-the-united-states-and-the-role-of-digital-media/

Mengapa bisa demikian? Ada dua sebab. Pertama, memendeknya rentang atensi seseorang sehingga ia tidak dapat menikmati aktivitas sederhana yang ia lakukan. Kedua, kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain yang kita lihat di media sosial.

Ingat, pada saat kita melihat kehidupan di media sosial, kehidupan yang kita lihat adalah kehidupan yang ideal. Hidup yang serba bahagia. Tentu saja. Orang hanya menunjukkan sisi positifnya di media sosial bukan?

Maka, sebenarnya rumus untuk bahagia itu mudah: turunkan ekspektasi dan berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain. Fokus pada apa yang kita miliki, bukan apa yang tidak kita miliki.

Kedua, fokus pada apa yang bisa diubah.

Ada hal-hal yang tidak bisa kita ubah, ada hal-hal yang bisa kita ubah. Kemana energi kita dialirkan? Penyebab pertama dari ketidaktentraman batin adalah saat kita fokus pada hal-hal di luar kendali kita.

Lingkar kendali adalah segala sesuatu yang bisa kita kendalikan secara langsung. Contoh: apa yang kita pikirkan, lakukan, katakan. Motivasi, mood, keputusan, apa yang kita beli dan pakai, kita bekerja dimana, bergaul dengan siapa, juga ada di dalam kendali kita.

Apa yang tidak kita ubah, sebenarnya itulah yang kita pilih — whatever you don’t change, you choose.

Ketika kita tidak berusaha mengubah pekerjaan yang membuat kita lelah, tanpa sadar kita sedang memilih untuk tetap di sana.

Ketika kita tidak memperbaiki hubungan yang rusak, tanpa sadar kita sedang memilih menumbuhkan jarak.

Ketika kita terjebak pada situasi yang tidak kita inginkan, tapi kita biarkan. Kita tidak lakukan usaha untuk mengubahnya. Maka sebenarnya kita sedang memilih untuk tetap berada di sana.

Usahakan, adapun hasil, serahkan pada Allah. Karena hasil ada di luar kendali kita.

Ketiga, membangun pekerjaan yang bermakna.

Fenomena negatif yang dialami oleh orang-orang yang mengalami midlife crisis rerata disebabkan oleh dua hal: kebosanan dan kecemasan. Kebosanan artinya ia menganggap sudah tidak ada lagi tantangan baik dalam pekerjaan, kecemasan artinya ia merasakan bahwa tekanan yang ia alami semakin besar. Kedua hal ini dapat diselesaikan jika kita membangun pekerjaan yang bermakna.

Apa yang dimaksud dengan pekerjaan yang bermakna? Dari berbagai studi, saya menyimpulkan ada tiga kriteria pekerjaan yang bermakna.

Pertama, pekerjaan yang memberi sensasi otonomi (sense of autonomy) kepada kita. Pekerjaan yang membuat kita memiliki kebebasan bagaiamana kita bekerja dan bagaimana mengerjakannya. Semakin otonom pekerjaan kita, biasanya semakin termotivasi kita dalam bekerja. Kunci untuk meraih otonomi adalah dengan menjadi orang yang sulit digantikan di pekerjaan kita. Semakin langka dan berharga keahlian yang kita miliki, peluang kita untuk memiliki otonomi di pekerjaan akan semakin besar.

Kedua, pekerjaan yang memberi kita sensasi keahlian (sense of mastery). Maksudnya adalah pekerjaan tersebut membuat kita merasa puas karena memanfaatkan keahlian terbaik kita dan pekerjaan tersebut memberi kita ruang untuk membuat kita bertumbuh.

Ketiga, pekerjaan yang memberi kita sensasi tujuan (sense of purpose). Sebuah pekerjaan yang membuat kita merasa bermanfaat bagi orang lain dan pekerjaan yang menciptakan dampak positif bagi komunitas.

Bagaimana membangun pekerjaan semacam ini? Bisa dengan mulai merancang visi tentang karier ideal kita kemudian mulai mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan di karier tersebut. Jika Anda ingin dibantu secara personal mengenali hal ini, silakan hubungi saya melalui ajipedia.com, saya menyediakan jasa profesional terkait hal ini.

Keempat, menjalin hubungan yang bermakna.

Bicara tentang hubungan bukanlah hal yang mudah, karena ia melibatkan dua kepala: kita dan pasangan kita. Maka pertanyaan tentang apa hal yang bisa menciptakan hubungan yang bermakna pun tidak bisa dijawab dengan mudah. Padahal, memiliki hubungan yang bermakna adalah satu hal yang dapat memprediksi kesehatan dan kebahagiaan seseorang dalam jangka panjang. Ini merupakan kesimpulan dari sebuah studi panjang selama 85 tahun yang dilakukan oleh Harvard Medical School.

Jika kita merujuk pada Roger, kunci dari hubungan yang bermakna adalah unconditional love (cinta tanpa syarat). Ada tiga kunci untuk mewujudkan ini:

Pertama, penerimaan (acceptance): menerima diri kita dan pasangan kita dengan segala ketidaksempurnaannya, tanpa mengharuskan mereka berubah atau memenuhi standar tertentu.

Kedua, pemahaman (understanding): tidak menghakimi, merasakan apa yang dirasakan orang lain, memahami meskipun tidak sependapat.

Ketiga, penghargaan (appreciation): mengenali sifat baik dari pasangan kita dan menyampaikannya secara tulus tanpa mengharapkan balasan dari pasangan kita.

Lalu, apa yang dapat merusak hubungan? Menurut John Gottman, ada empat:

Pertama, kritik: menyerang karakter atau kepribadian pasangan daripada mengungkapkan ketidaksetujuan atau keluhan terhadap perilaku mereka.

Kedua, merendahkan: menunjukkan sikap merendahkan martabat dengan verbal maupun non verbal. Bisa berupa ejekan, sindiran, nada sinis, ekspresi muka, dan sebagainya.

Ketiga, bersikap defensif: merespons keluhan dengan membela diri, menolak tanggung jawab, atau mengalihkan kesalahan kepada pasangan.

Keempat, mengabaikan: menutup diri atau menarik diri dari percakapan atau diskusi penting. Ini biasanya terjadi ketika seseorang merasa kewalahan dengan perasaan atau tidak ingin berkonfrontasi.

Perhatikan, empat perilaku perusak hubungan ini bertentangan langsung dengan tiga kunci unconditional love yang disampaikan Roger.

Penutup

Meskipun secara umum kurva kebahagiaan seseorang mengikuti huruf U, namun kita tidak harus mengikuti keumuman tersebut. Kebahagiaan adalah pilihan, ia adalah skill yang dapat dilatih. Pertanyannya, selama ini kita menjadikan kebahagiaan sebagai efek dari lingkungan atau sebagai skill yang dapat diusahakan?

Menjadikan kebahagiaan sebagai efek dari lingkungan membuat kita tidak dapat mengelola kebahagiaan yang kita miliki. Kebahagiaan kita akan terombang-ambing mengikuti situasi dan kejadian yang kita alami.

Maka, memilih kebahagiaan sebagai sebuah skill yang dapat dilatih dan diusahakan sepertinya merupakan pilihan yang bijak. Dengan demikian, apapun lingkungan, situasi, dan kejadian yang datang kepada kita, kita akan mampu menjadikan diri kita tetap berbahagia.

“Kebahagiaan adalah pilihan, bukan hasil. Tidak ada yang dapat membuat Anda bahagia sampai Anda memilih untuk bahagia. Tidak ada orang yang dapat membuat Anda bahagia sampai Anda memutuskan untuk bahagia. Kebahagiaan tidak akan datang kepada Anda. Ia hanya datang dari dalam diri Anda.” — Ralph Marslon

Artikel ini dipublikasikan pertama kali di blog saya. Kunjungi di sini.

--

--

Darmawan Aji
Darmawan Aji

Written by Darmawan Aji

Productivity Coach. Penulis 7 buku pengembangan diri. IG @ajipedia Profil lengkap: darmawanaji.com

Responses (2)