Membedah Buku The Coaching Habit
Saya belajar skill coaching pertama kali tahun 2011. Dalam rentang tahun 2011–2013 saya belajar bukan hanya dari satu tempat, melainkan tiga. Sejak saat itu saya merasa sudah menjadi seorang coach. Namun sejujurnya, dalam hati yang terdalam saya masih gamang dengan kemampuan saya. Saya merasa bisa memfasilitasi orang berubah, namun saya tahu apa yang saya lakukan tidak bisa dibilang sebagai coaching sepenuhnya.
Tahun 2014 saya memutuskan untuk belajar ulang metode coaching. Di sinilah mata saya terbuka. Saya menemukan apa yang kurang dari apa yang saya lakukan selama ini. Maka, sejak saat itu saya kembali belajar dan berlatih coaching — sampai detik ini.
Saya merasa, metode coaching tidak hanya menumbuhkan klien. Coaching juga menumbuhkan diri saya. Saya merasa coaching membuat saya menjadi pribadi yang mau mendengar. Pribadi yang mau menurukan ego demi tumbuhnya orang lain. Entah mengapa, saya jatuh cinta dengan ilmu ini.
Coaching sebagai metode dalam memfasilitasi perubahan pada diri seseorang tentu saja memiliki kelebihan dan keterbatasan. Coaching tidak sempurna, namun sejauh yang saya tahu metode ini paling tepat bila ditujukan untuk mengaktualisasikan potensi diri seseorang. Coaching adalah metode paling non directive untuk menumbuhkan seseorang. Jika kita ingin tumbuh dan teraktualisasi potensi dirinya, coaching adalah pilihan yang paling tepat.
Coaching akan membantu seseorang tumbuh dengan kecepatan uniknya masing-masing. Berkembang dengan sumberdaya unik yang dimiliki masing-masing. Coaching tidak memaksakan apa yang berhasil pada orang lain pada diri kita. Karena setiap kita unik. Setiap kita punya jalan masing-masing. Setiap kita bergerak dengan motif dan niat yang berbeda-beda. Setiap kita bertumbuh dengan lingkungan dan sumberdaya yang berbeda.
Itulah sebabnya dalam coaching para coach lebih banyak menggunakan pertanyaan alih-alih instruksi. Mengajukan pertanyaan alih-alih memberitahu. Menggunakan pertanyaan bukan dalam rangka melakukan interview melainkan untuk menumbuhkan potensi diri seseorang. Tentu saja, cara bertanya dalam coaching berbeda dengan cara bertanya di dalam interview. Silakan baca artikel berikut jika Anda ingin mengetahui lebih detail tentang coaching.
Jika Anda ingin menumbuhkan diri sambil menumbuhkan orang lain, saya merekomendasikan Anda untuk belajar coaching. Dimana? Bebas. Namun pastikan tempat belajar Anda memiliki standar kompetensi yang jelas. Standar yang dapat Anda jadikan acuan untuk mengukur kemajuan dari skill Anda.
Buku The Coaching Habit
Dalam proses belajar coaching, saya menemukan bahwa skill coaching tidak dapat dikuasai dalam waktu singkat. Saya perlu waktu lebih dari setahun untuk menginternalisasi coaching sebagai skill. Dan saya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menjadikan coaching sebagai habit, sebagai bagian dari diri saya.
Inilah menariknya buku The Coaching Habit karya Michael Bungay Stainer. Buku ini mengajarkan pada kita bagaimana membentuk coaching sebagai sebuah kebiasaan baru secara bertahap. Buku ini dapat kita jadikan panduan untuk menjembatani kebiasaan lama ‘memberitahu’ dengan kebiasaan baru ‘bertanya.’
Penulis tidak memaksa kita untuk menjadikan coaching sebagai metode formal. Penulis justru mendorong kita untuk memanfaatkan coaching dalam percakapan informal. Menurut penulis, coaching dapat dilakukan secara informal dalam waktu 10 menit atau kurang. Inilah esensi dari coaching habit: Lebih banyak bertanya dan lebih sedikit memberitahu.
Lalu, apa manfaat dari menerapkan coaching habit ini? Setidaknya kita akan terhindar dari tiga masalah.
- Pertama, ketergantungan berlebih dari tim. Jika kita terbiasa memberikan arahan dan saran, maka tim akan tergantung pada kita. Mereka tidak mandiri. Tidak mau berpikir dan mengambil inisiatif. Coaching habit akan mencegah hal ini.
- Kedua, kewalahan dalam pekerjaan. Tak peduli seberapa banyak productivity hack yang Anda kuasai, jika Anda tidak bisa membuat tim mandiri Anda akan kewalahan. Anda akan kehabisan energi untuk mengerjakan hal-hal yang seharusnya bisa dituntaskan oleh tim Anda.
- Ketiga, kehilangan makna. Pada akhirnya Anda akan kehilangan makna. Anda akan merasa pekerjaan Anda hanyalah rutinitas yang membosankan.
Membiasakan Coaching Habit
Maka solusinya adalah menerapkan coaching habit secara bertahap dalam kepemimpinan kita. Apa yang dimaksud dengan coaching habit? Seperti yang sudah saya tulis di atas: lebih banyak bertanya dan lebih sedikit memberitahu.
Bagaimana caranya? Penulis menawarkan 5 elemen yang perlu dipenuhi untuk membentuk kebiasaan baru.
Pertama, Alasan Kuat
Kita perlu punya alasan kuat mengapa membiasakan coaching habit penting bagi kita. Caranya adalah dengan menjawab dua pertanyaan berikut:
- Apa manfaat yang mungkin kita dapatkan saat kita memiliki kebiasaan ini
- Bagaimana kebiasaan baru ini membantu orang yang kita pedulikan?
Kedua, Pemicu
Temukan momen spesifik kapan Anda akan menggunakan coaching habit ini. Misalnya: ketika menghadiri rapat tim, ketika si X meminta masukan dsb.
Ketiga, Micro-habit
Definisikan perilaku yang ingin Anda bisasakan. Usahakan semudah dan sespesifik mungkin. Masih ingat bahasan kaizen di tulisan saya sebelumnya kan? Perubahan yang kecil namun konsisten jauh lebih berhasil dalam jangka panjang daripada perubahan yang besar namun tidak konsisten.
Apa contoh perilaku mikro yang dapat kita biasakan? Misal: mengajukan satu pertanyaan saja dalam satu waktu. Tidak tergoda untuk langsung mengajukan banyak pertanyaan.
Keempat, Latihan mendalam
Belajar dari Daniel Coyle di buku Talent Code. Kita perlu melakukan latihan mendalam untuk membentuk sebuah perilaku yang otomatis. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan.
- Latih sub-skillnya satu per satu. Misalnya untuk mengajukan pertanyaan, latih satu macam pertanyaan terlebih dulu sampai Anda mahir.
- Ulangi, ulangi, ulangi. Pengulangan dengan peningkatan adalah ibu dari keahlian.
- Sadari saat Anda berhasil. Berikan imbalan pada diri Anda. Tidak perlu sesuatu yang mahal, kadang mengepalkan tangan sambil berkata “yes” sudah cukup memadai.
Kelima, Rencana
Apa yang akan Anda lakukan saat Anda “terpeleset”? Apa yang akan Anda lakukan saat Anda tidak berhasil? Kita tidak mungkin selalu berhasil. Namun, jangan sampai kemunduran sementara ini membuat Anda berhenti berlatih. Anggap saja itu sebagai pembelajaran.
Menyatukan Semuanya
Maka, untuk membentuk kebiasaan kita dapat gunakan rumusan sebagai berikut:
- Ketika [sebutkan momen/peristiwanya]
- Alih-alih saya [sebutkan kebiasaan lama]
- Saya akan [sebutkan kebiasaan baru Anda]
Contoh:
- Ketika saya menghadiri rapat tim…
- Alih-alih saya banyak memberikan ide tentang apa yang perlu dilakukan oleh tim…
- Saya akan mengajukan pertanyaan untuk menggali ide dari mereka.
Kesimpulan
Secara umum buku The Coaching Habit ini layak untuk dibaca. Meskipun saya cukup bosan dengan pengulangan struktur kontennya, namun tetap worth it. Dan seandainya lebih banyak contoh-contoh percakapan coaching-nya saya yakin buku ini akan semakin berbobot dan menarik.