Lapisan Bawang Trainer Profesional

Darmawan Aji
4 min readJan 3, 2025

--

Saat menelusuri Threads, saya menemukan sebuah postingan yang menarik. Pemilik threads tersebut menuliskan sebagai berikut:

“Ilmu seseorang boleh mumpuni, portofolio oke, tapi materi dan cara menyampaikannya belum tentu worth it. Mana bayar lagi. Kok bisa seberani itu ya dia buka kelas.”

Ini menunjukkan kekecewaan seorang peserta training terhadap trainer yang membawakan materi di kelas berbayar yang ia ikuti. Ada dua kekecewaan: pertama, dari materinya yang dibawakannya. Kedua, dari cara pemateri membawakan materinya. Jika hal ini terjadi pada sebagian besar peserta training, maka hal ini akan memengaruhi citra atau personal brand dari trainer tersebut. Citranya menjadi buruk, otomatis kariernya tidak berkembang jika ia tidak melakukan perbaikan.

Mengenai hal ini, salah satu kawan saya berkomentar: “Orang yang mengejar ilmu tidak terlalu perduli dengan delivery.” Apa yang disampaikan kawan saya ini benar, jika kita melihat dalam konteks sebagai peserta, ini adalah bagian dari adab pembelajar. Namun jika yang dibicarakan konteksnya sebagai seseorang ingin membangun karier sebagai trainer profesional, maka komentar ini menjadi pembenaran yang kurang tepat.

Lalu, apa yang salah dari sang trainer atau pembicara ini?

Dalam dunia training, seorang trainer itu perlu menguasai dua hal: konten dan proses.

Konten adalah materi yang ia bawakan. Ini adalah keahliannya — expertisenya: pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang ia kuasai. Seseorang yang punya pengalaman sebagai entrepreneur mungkin akan mengajar konten tentang bisnis, seseorang yang punya sertifikasi Financial Planner mungkin akan mengajar tentang keuangan pribadi, seseorang yang menguasai ilmu marketing mungkin ia akan mengajar tentang marketing. Jadi, konten adalah fokus materi yang dikuasai oleh sang trainer.

Sementara itu, proses adalah cara ia membawakan materi. Elemennya ada dua: desain dan delivery. Apakah ia bisa merancang materi sesuai kebutuhan audiens? Apakah ia bisa menyajikan materi tersebut secara terstruktur sehingga bisa dipahami oleh audiens? Di sinilah ketenangan, kemampuan presentasi, menyusun materi, public speaking, listening, fasilitasi, dan skill menjawab pertanyaan dipertaruhkan.

Pertanyaannya, sebagai trainer, apakah kita menguasai keduanya dengan baik?

Seseorang yang sangat menguasai konten namun lemah di proses bisa jadi akan mengalami kasus seperti di atas. Ini marak terjadi pada para praktisi. Keluhan bahwa praktisi yang diundang sebagai narasumber atau pembicara tidak enak penyampaiannya sudah sering saya dengar dari teman-teman training provider. Sehingga kemudian muncul fenomena:

  • Mereka menjejali banyak informasi ke audiens, karena punya pengalaman yang kaya. Namun, tanpa sadar ini justru menyebabkan audiens kewalahan dan mengalami cognitive overload.
  • Mereka tidak terstruktur dalam menyampaikan materi. Sehingga audiens bingung, mana materi yang esensial, mana yang hanya bumbu tambahan.
  • Materi yang disampaikan tidak kontekstual. “Egois” hanya membahas apa yang pernah dialami narasumber, studi kasusnya tidak disesuaikan untuk level audiensnya. Misalnya, praktisi korporasi yang diundang untuk bicara di level UMKM tapi menggunakan studi kasus korporasi untuk menjelaskan konsepnya. Akhirnya tidak nyambung antara studi kasus dengan realita yang dialami audiens.

Lalu bagaimana dengan fenomena yang sebaliknya? Apakah ada pembicara yang jago di proses namun lemah di konten? Ada juga.

Saya melihat beberapa trainer muda seperti ini. Tidak semua tentunya. Mereka sangat piawai dalam menyampaikan materi namun apa yang disampaikannya kosong. Saat bicara membuai, namun isinya tidak ada.

Konten dan proses, keduanya akan memengaruhi personal branding seorang trainer.

Anda punya keahlian spesifik, tapi cara Anda mennyajikan materi bermasalah. Orang akan kecewa sudah ikut kelas Anda.

Anda jago bicara dan penyajian, tapi Anda tidak punya keahlian spesifik. Orang akan bilang Anda omdo.

Maka, jika Anda serius ingin membangun karier sebagai trainer profesional, saya merekomendasikan Anda untuk mempraktikkan model lapisan bawang berikut ini. Saya menyebutnya dengan Trilayer Mastery Model.

Untuk sukses sebagai trainer profesional, Anda perlu menguasai tiga hal:

  1. Content Mastery
  2. Process Mastery
  3. Personal Branding Mastery

Lapisan terluarnya adalah personal branding mastery. Apa yang kita lihat dari seorang trainer profesional itu hanya lapisan luarnya: personal branding yang sudah terbentuk. Si A expert di leadership, si B jalan-jalan terus ngajar di berbagai kota, si C ngisi di berbagai korporat, si D kelas publiknya rame terus. Ini semua adalah efek dari apa yang dia lakukan selama ini.

Namun, jika kita ingin tahu apa sebenarnya yang membuat dia menjadi seperti itu, kita perlu kupas lapisan selanjutnya. Ibarat lapisan-lapisan bawang, lapisan di balik personal branding yang bagus adalah penguasaannya terhadap process mastery — penguasaan seseorang akan proses training itu sendiri: bagaimana ia menganalisis kebutuhan, bagaimana ia mendelivery pelatihan, bagaimana ia menyajikan materi, merancang aktivitas dan sebagainya. Tanpa penguasaan proses yang baik, sulit bagi seseorang untuk menjadi trainer profesional yang sukses.

Lalu, bila kita kupas lagi lebih dalam, maka kita akan menemukan inti dari bawang tersebut: content mastery. Konten yang sangat ia kuasai. Ia bisa terbentuk dari pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya. Tanpa konten yang kuat, penguasaan proses menjadi kopong. Jago bicara, nggak ada isinya.

Ketiga mastery ini diperlukan. Mulainya dari inti — content mastery. Tentukan keahlian yang ingin Anda kuasai dan ajarkan. Akuisisi ilmu dan pengalamannya dulu.

Lalu, pelajari process mastery. Belajar analisis, desain, delivery, atau bahkan mungkin basic public speaking. Jangan lupa dapatkan jam terbang dari apa yang Anda pelajari ini.

Apakah cukup? Tidak. Anda ahli di bidang Anda, terampil pula dalam melatih dan menyampaikan keahlian Anda, tapi orang belum tahu bahwa Anda seperti itu, maka peluang-peluang tidak akan datang kepada Anda. Maka, Anda perlu mengomunikasikan siapa diri Anda. Anda perlu personal branding mastery — Bangun citra yang autentik, yang selaras dengan diri Anda. Citra yang menunjukkan siapa diri Anda dan apa yang bisa Anda lakukan untuk mereka.

Nah, jika ada yang tertarik belajar dari pengalaman saya selama 15 tahun di dunia training profesional, saya berencana membagikan pengalaman saya. Silakan hubungi tim saya, mas Danang, melalui whatsapp yak, nanti beliau akan bisikin info detailnya.

--

--

Darmawan Aji
Darmawan Aji

Written by Darmawan Aji

Productivity Coach. Penulis 7 buku pengembangan diri. IG @ajipedia Profil lengkap: darmawanaji.com

No responses yet