Dilema Significance: Antara Keinginan Tidak Dikenal dengan Dorongan Berdampak Besar

Darmawan Aji
4 min readJan 9, 2025

--

Photo by Graydon Driver on Unsplash

Saya paling dongkol kalau ada orang menyebut saya ini suka tampil dan jadi pusat perhatian. Makanya, saat mengetahui dari hasil asesmen Talents Mapping bahwa saya punya bakat significance, batin saya menyangkal.

Mengapa saya menyangkal? Karena saya memaknai significance dengan suka tampil, senang popularitas, senang jadi pusat perhatian. Dan saya merasa bukan pribadi yang seperti itu. Atau mungkin lebih tepatnya, saya tidak ingin jadi pribadi seperti itu.

Jadi, saya merasa bahwa suka tampil itu salah. Suka tampil itu perbuatan yang tidak baik. Sehingga saat dorongan ingin tampil itu muncul, muncul pula perasaan bersalah. Dan ini membuat saya tidak nyaman.

Saya berusaha menelisik lebih dalam. Apa yang menyebabkan rasa bersalah ini muncul? Setelah merenung agak panjang, ternyata ada memori dari salah satu ceramahnya ustadz Anis Matta. Beliau menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani:

“Sesungguhnya Allah menyukai al atqiya al akhfiya al abriya — orang-orang yang bertaqwa yang tersembunyi yang berbuat kebaikan. Yaitu orang-orang yang jika tidak ada mereka tidak dicari, dan jika ada mereka tidak dikenal.”

Perhatikan kata al akhfiya, kata ini bermakna orang yang tersembunyi. Tidak terlihat. Tidak terkenal. Tidak tampil di depan layar.

Dari sini saya kemudian menyimpulkan, bahwa muslim yang baik itu muslim yang tidak dikenal. Maka, senang tampil dan menjadi pusat perhatian itu berlawanan dengan pemaknaan saya terhadap hadits tersebut.

Sayang seribu sayang, naluri ingin tampil dan menjadi pusat perhatian itu sering menyelinap hadir. Kadang saya menepis: ah, ini cuma bisikan setan. Namun, sering kali terjadi, meskipun saya tidak menyengaja untuk tampil, entah kenapa kehadiran saya di sebuah ruangan membuat orang memberikan perhatian kepada saya (ya meskipun ini kadang hanya ke-geer-an saya saja, hehe).

Saat kuliah misalnya, saya tidak ada niatan untuk menonjol di organisasi yang saya ikuti. Tetapi, tetiba saya terpilih sebagai ketua Mahasiswa Islam Fisika.

Pernah juga, saya ikut sebuah workshop. Saya berniat untuk mojok, tidak menonjolkan diri. Namun di hari kedua, saya malah terpilih sebagai peserta dengan pengerjaan tugas terbaik. Sampai diminta maju ke depan untuk mengenalkan diri ke seluruh peserta lain.

Banyak kejadian semacam ini terjadi. Dan setiap kali situasi seperti ini muncul, saya merasa bersalah.

Kalau melihat nasab, sepertinya naluri untuk menjadi pusat perhatian juga sudah menjadi kekhasan di keluarga saya. Bapak saya misalnya, itu penyuluh pertanian yang setiap Pemilu datang beliau berubah menjadi juru kampanye Golkar. Beliau akan berorasi di atas panggung dan menyihir pengunjung yang datang. Bisa dibilang, Bapak berubah menjadi pembicara yang sangat ulung setiap kali diberi panggung.

Mbah kakung saya (dari jalur ibu), adalah seorang penyuluh di dinas sosial sekaligus dikenal sebagai orang sakti yang kata-katanya bisa meluluhkan lawan bicaranya. Pernah satu masa, simbah saya bisa meyakinkan seorang lurah untuk memberikan tanah desa kepada pendatang agar bisa digarap. Sang lurah mengiyakan begitu saja, padahal simbah saya hanya seorang pendatang baru di desa tersebut.

Sementara itu, mbah buyut saya (ayahnya mbah kakung) adalah seorang lurah yang disegani warganya. Pakdhe saya cerita, setiap sore mbah buyut akan berjalan kaki dari desanya ke desa sebelah. Di sepanjang jalan, penduduk yang dilewatinya akan berlutut (ya, dalam arti sebenarnya: meletakkan lutut di tanah) dan menundukkan kepala untuk menghormati beliau.

Mbah buyut saya (paling kiri di foto), ibu saya (bayi digendong di sebelahnya), mbah kakung saya (berkumis di belakang ibu)

Setiap kali mbah buyut bicara, tidak akan ada orang yang berani membantahnya. Sampai-sampai ada isu menyebutkan kalau mbah buyut saya punya keris Kijing Bungkem. Keris yang bisa membuat orang terbungkam saat pemilikinya berbicara. Apa benar demikian? Masyarakat tidak peduli kebenaran. Penjelasan yang paling gampang biasanya jadi penjelasan yang paling disukai meskipun itu belum tentu benar — demikian kalau kata prinsip Occam’s Razor. Kebenarannya? Jangan-jangan bakat significance adalah kekhasan di keluarga besar saya.

Jadi, sudah banyak bukti pendukung bahwa sangat mungkin saya ini orangnya suka tampil dan jadi pusat perhatian. Bahwa saya memang punya bakat significance. Karena memang saya punya darah itu. Mau mengelak dengan cara bagaimana lagi?

Akhirnya saya pasrah. Saya menerima bahwa saya punya bakat significance meskipun saya menyangkal dorongan tampil dan jadi pusat perhatian.

Hingga satu waktu, saya menemukan sebuah perpektif baru. Saya menemukan definisi significance yang lebih selaras dengan keyakinan saya. Signifikan itu bukan sekadar senang tampil atau jadi pusat perhatian, signifikan itu naluri untuk berdampak besar pada banyak orang. Kata signifikan itu bersinonim dengan kata “bermakna.” Artinya, mereka yang memiliki bakat significance itu adalah mereka yang terdorong untuk menjadi lebih bermakna dengan menciptakan dampak yang besar bagi banyak orang. Kalau ini definisi signifikan, saya mau jadi orang yang signifikan!

Jadi, poinnya bukan pada tampil atau tidak, terkenal atau tidak, jadi pusat perhatian atau tidak. Poinnya ada pada seberapa besar dampak yang kita ciptakan, baik kita terkenal maupun tidak. Baik kita terlihat, maupun tersembunyi.

Ya, sebenarnya, definisi ini bukan definisi baru. Hanya saja saya baru menyadarinya. Selama ini definisi ini tertutup oleh simplifikasi bahwa signifikan artinya suka tampil dan jadi pusat perhatian. Karena tertutup, ia menjadi tidak terlihat dan tidak saya sadari. Makanya, benar kata Einstein “Everything should be made as simple as possible, but not simpler” — segala sesuatu memang perlu dibuat sesederhana mungkin, tetapi yang jangan terlalu sederhana sehingga kehilangan nuansa aslinya.

Pada akhirnya, hidup kita bergantung dari bagaimana kita mendefinisikan berbagai hal dalam hidup kita. Maka, memilih definisi yang paling memberdayakan adalah langkah untuk menjadi lebih bijaksana.

PS. Oya, bagi teman-teman yang ingin mengetahui urutan bakatnya menggunakan asesmen Talents Mapping, silakan hubungi tim saya Indra di wa.me/62816995148 bilang saja dapat info dari blog saya supaya dapat diskon spesial 😉

Artikel ini dipublikasikan pertama kali di blog saya.

--

--

Darmawan Aji
Darmawan Aji

Written by Darmawan Aji

Productivity Coach. Penulis 7 buku pengembangan diri. IG @ajipedia Profil lengkap: darmawanaji.com

No responses yet