Copywriting Canvas
Sebagai pebisnis, saya yakin teman-teman familiar dengan Business-Model Canvas. Sebuah kanvas yang sangat bermanfaat saat kita merancang sebuah bisnis baru. Semenjak BMC hadir, muncullah berbagai kanvas baru. Kita jadi mengenal Value-Proposition Canvas, Prototype Canvas, Customer Journey Canvas dan kanvas-kanvas lainnya. Mengapa muncul? Karena memang kanvas-kanvas tersebut dibutuhkan. Hadirnya kanvas memudahkan kita dalam mendesain (atau mendesain ulang) sebuah bisnis, agar lebih baik.
Mengapa Kanvas Menjadi Populer?
Populernya kanvas terjadi seiring dengan populernya konsep Design Thinking, Design Sprint, Scrum, Agile dan sebagainya. Pebisnis menyadari, di era dengan perubahan yang cepat seperti saat ini, mereka perlu mengadopsi pola pikir desainer dalam merancang dan mengelola bisnisnya. Tak heran, kanvas menjadi pilihan mereka. Sebenarnya, bisa saja mereka menggunakan spreadsheet atau worksheet berbasis Word misalnya. Namun, kanvas memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh spreadsheet dan worksheet semacam itu.
Pertama, kanvas bersifat visual, berbeda dengan spreadsheet atau worksheet yang berbasis teks. Sehingga kanva lebih menarik untuk dilihat. Karena bersifat visual, kita bisa menuangkan ide dengan apa saja di atasnya: corat-coret dengan spidol, menempelkan post it, mengaitkan benang dan pola apapun.
Kedua, kanvas memicu kreativitas. Berpikir kreatif diawali dengan berpikir visual. Kanvas dapat memicu kreativitas, karena saat mengisi kanvas pemikiran visual kita turut aktif. Dengan demikian, mental blocking sangat jarang muncul saat kita mengisi kanvas.
Ketiga, kanvas menyediakan struktur tanpa terikat pada prosedur. Enaknya kanvas adalah, kita tinggal mengisi kolom yang tersedia. Kolom tersebut disiapkan sehingga setiap elemen yang perlu dipikirkan sudah ada di sana. Menariknya, kita bisa mulai dari kolom yang mana saja. Meskipun pada beberapa kanvas ada urut-urutan untuk mengisinya, namun urutan tersebut tidaklah baku. Sekali lagi, ini membantu kita kreatif dalam menghasilkan sesuatu.
Keempat, kanvas mendorong kolaborasi. Kita dapat pajang kanvas di tembok atau bentangkan di atas meja. Kemudian berkolaborasi dengan tim untuk mengisinya bersama-sama, ini sulit dilakukan jika kita menggunakan isian spreadsheet atau worksheet. Menariknya saat ini, bermunculan aplikasi digital yang memanfaatkan prinsip kanvas, seperti Miro misalnya. Dengan aplikasi ini kita bisa berkolaborasi mengisi sebuah kanvas digital.
Dengan manfaat yang semacam ini, sah-sah saja jika kemudian saya merancang kanvas saya sendiri bukan? Salah satu kanvas yang saya rancang adalah Copywriting Canvas (saya juga merancang kanvas lain: Performance Canvas dan Learning Design Canvas, kapan-kapan kita bahas yak). Mengapa saya membuat Copywriting Canvas? Karena banyak teman-teman pebisnis saya yang kebingungan dan stuck saat menulis copywriting untuk mempromosikan produknya. Dengan Copywriting Canvas, kebingungan semacam itu insyaallah tidak akan ada lagi.
Copywriting Canvas
Masih ingat bahasan anatomi copywriting sebelumnya? Nah, kelima elemen copywriting tersebut saya susun dalam sebuah kanvas. Berdasarkan pengalaman pengguna, penggunaan kanvas semacam ini sangat memudahkan mereka dalam membuat copywriting. Mereka bisa mulai dari mana saja. Dari offer boleh, dari proof boleh, dari hook/headline juga boleh. Dari manapun mulainya, pada akhirnya kita akan dapat menyusun sebuah copywriting yang menarik. Seperti kata Eugene Schwartz: “Copy is not written. Copy is assembled.”
Copywriting Canvas berbentuk seperti ini:
Bila teman-teman tertarik mempelajari cara pengisian Copywriting Canvas, silakan teman-teman hubungi para Licensed Trainer of Hypnowriting. Mereka menyelenggarakan kelas Copywriting Canvas secara online maupun offline. Jika ingin berkenalan terlebih dulu, teman-teman dapat membaca buku terbaru saya berjudul Copywriting Canvas: Langkah Mudah Menulis Copywriting Tanpa Pusing. Buku bisa didapatkan di sini.