ChatGPT, DeepSeek, dan 4 Kemampuan untuk Mengoptimalkannya

Darmawan Aji
6 min readJan 28, 2025

--

Pernah kecewa dengan hasil riset yang dibuat oleh ChatGPT? Saya pernah. Untungnya sekarang hadir aplikasi alternatif untuk menjawab kebutuhan itu. Namanya DeepSeek.

Setelah dunia kecerdasan buatan diramaikan oleh ChatGPT dan Meta AI, sekarang muncul lagi DeepSeek, sebuah aplikasi yang dianggap lebih unggul dari kedua pendahulunya.

Meskipun ketiganya sama-sama menggunakan teknologi Natural Language Processingdan Machine Learning, DeepSeek diklaim lebih unggul untuk kasus kompleks yang membutuhkan pendekatan khusus. Seperti optimasi bisnis, analisis data, atau edukasi.

Proses penalaran DeepSeek juga menyerupai proses penalaran manusia. Sehingga respon dan jawaban DeepSeek dianggap manusiawi dan ramah pengguna (user friendly).

Dalam konteks bisnis, DeepSeek juga menawarkan kemampuan integrasi yang lebih baik dengan sistem yang sudah ada di perusahaan. Baik itu ERP, CRM, atau database internal.

Selain itu, untuk penggunaan pribadi, kemampuan terbaik DeepSeek saat ini masih bisa diakses secara gratis. Tidak seperti ChatGPT yang memerlukan biaya langganan ratusan ribu setiap bulannya.

Saya sendiri merupakan pengguna intens ChatGPT selama dua tahun terakhir. Saya sangat terbantu dalam banyak hal. Mulai dari riset, menganalisis data, mencari ide-ide konten, merangkum teks, pemecahan masalah, sampai perencanaan kerja. Singkat kata, ChatGPT benar-benar membantu saya bekerja lebih efisien dalam dua tahun terakhir ini.

Namun, setelah menggunakan DeepSeek selama satu pekan, pelan-pelan saya mulai mengalihkan sebagian tugas yang biasanya tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh ChatGPT yaitu riset.

Menurut opini saya, DeepSeek memberikan hasil riset yang lebih baik dibandingkan ChatGPT. Apalagi ia memiliki fitur DeepThink. Saat menggunakan fitur ini DeepSeek akan melakukan penalaran dan penelusuran referensi sebelum memberikan jawaban. Hasilnya, riset yang dilakukan DeepSeek menjadi lebih mendalam.

Pengalaman saya mengaminkan hal itu. Saat saya meminta analisis mendalam mengenai pro kontra generalis vs spesialis, DeepSeek melakukan penalaran terlebih dahulu selama 20 detik lalu memberikan jawaban yang lebih memuaskan dibandingkan ChatGPT. Padahal saya menggunakan prompt atau perintah yang sama. ChatGPT hanya memberikan jawaban ringkas 200 kata dengan dua referensi online, sementara DeepSeek memberikan jawaban 370 kata yang dilengkapi dengan empat argumentasi, satu kesimpulan, dan empat referensi dari sumber terpercaya. Karena inilah, saya lebih puas dengan jawaban dari DeepSeek.

Tentu saja, tidak semua orang sepakat dengan opini saya ini. Beberapa orang mengatakan, kemampuan ini juga dikuasai oleh ChatGPT. Terutama jika kita menggunakan fitur o1 pro. Namun, sayang fitur ini hanya bisa diakses oleh mereka yang berlangganan.

Oke, jadi apakah DeepSeek lebih hebat dari pada ChatGPT? Sebenarnya pertanyaan ini tidak begitu penting dijawab. Setiap aplikasi selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. DeepSeek unggul di riset, ChatGPT unggul di kerja kreatif.

Satu pertanyaan yang justru lebih penting adalah: apakah kita sebagai pengguna sudah punya kemampuan yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan penggunaan kecerdasan buatan ini atau belum?

Karena, apapun alat yang kita gunakan ujungnya kita perlu memahami satu hal penting:

Kehebatan sebuah alat itu hanya sehebat penggunanya.

Sehebat apa pun sebuah alat, ia hanyalah alat. Hebat tidaknya hasil dari sebuah alat itu bergantung dari kemampuan penggunanya.

Bayangkan sebuah kamera DSLR yang canggih. Apakah mereka yang menggunakan kamera canggih ini pasti bisa menghasilkan foto dengan kualitas yang hebat? Apakah mereka yang menggunakan kamera canggih ini pasti hasil fotonya lebih bagus dibandingkan mereka yang hanya menggunakan handphone? Tentu saja tidak.

Di tangan seorang profesional, kamera canggih ini akan menghasilkan foto yang hebat. Tetapi di tangan seseorang yang tidak paham komposisi, pencahayaan, cara mengatur fokus, hasilnya bisa saja berantakan. Demikian juga jika ia tidak memiliki kreativitas atau selera yang baik, foto yang dihasilkan akan biasa-biasa saja.

Demikian juga dengan aplikasi kecerdasan buatan. Secanggih apa pun fiturnya, jika sang pengguna tidak memiliki kemampuan yang mendukungnya, maka output yang dihasilkan oleh DeepSeek, ChatGPT, Meta AI, atau aplikasi kecerdasan buatan lainnya akan biasa-biasa saja.

Lalu, kemampuan apa saja yang perlu dikuasai oleh kita agar mampu memanfaatkan aplikasi kecerdasan buatan ini dengan optimal?

Agar AI bisa menjadi alat yang benar-benar bermanfaat, kita perlu menguasai empat kemampuan utama:

  1. Pemahaman dasar tentang kecerdasan buatan
  2. Pemahaman dasar akan bidang spesifik tertentu
  3. Kemampuan berpikir kritis dan kreatif
  4. Kemampuan berkomunikasi

Mari kita bedah satu per satu.

Pertama, Pemahaman Dasar tentang Kecerdasan Buatan

Kita perlu memahami bahwa kecerdasan buatan (selanjutnya akan saya sebut dengan AI; Artificial Intelligence) bukanlah manusia. Ia tidak memiliki kesadaran, opini, atau intuisi. AI bekerja berdasarkan data yang dilatih padanya. Ia menghasilkan output sesuai input yang diberikan. Jika inputnya lemah, maka hasilnya pun tidak maksimal.

Bisa dibilang, AI itu seperti koki robot. Dia bisa memasak dengan cepat, tapi dia hanya mengikuti resep yang kita berikan. Kalau resepnya salah, makanan yang dihasilkannya pun tidak akan enak.

Kita juga perlu memahami bahwa AI juga berpotensi menciptakan halusinasi. Apa itu halusinasi? Halusinasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan saat sebuah kecerdasan buatan memberikan informasi fiktif namun terdengar seperti fakta. Seakan-akan ada referensinya, namun saat diperiksa referensi itu tidak benar-benar ada.

Jika pemahaman dasar tentang AI tidak dimiliki, maka kita akan berpotensi menelan mentah-mentah output yang dihasilkan olehnya. Dan ini berbahaya.

Kedua, Pemahaman Dasar tentang Bidang Spesifik Tertentu

Untuk bisa memanfaatkan AI dengan maksimal, kita juga perlu memiliki pemahaman dasar terkait bidang spesifik yang ingin dibantu dengan AI.

Misalnya, kita ingin menghasilkan cerita pendek dengan AI. Maka, setidaknya kita perlu paham tentang struktur narasi mulai dari pengembangan karakter, konflik, resolusi, dan sebagainya. Tanpa pemahaman ini, kita tidak akan tahu apakah cerita yang dihasilkan AI sudah bagus atau belum.

Demikian juga, seandainya kita akan menggunakan AI untuk menyusun copywriting. Maka kita perlu paham hal-hal mendasar tentang copywriting: headline, hook, CTA, dsb. Tanpa pemahaman hal ini, hasilnya tidak akan optimal.

Jadi, bayangkan aplikasi AI ini seperti asisten. Kita lah tuannya. Kita lah yang mengarahkan AI. Jangan terbalik.

Ketiga, Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif

Meskipun AI itu cerdas, kita sebagai penggunanya juga harus lebih cerdas. Kombinasi ini yang akan menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. AI bisa tiba-tiba menjadi bodoh, jika digunakan secara bodoh oleh orang yang bodoh. Artinya, kitanya sendiri perlu punya kemampuan berpikir dan pemecahan masalah yang baik.

Ingat, meskipun AI membantu kita berpikir, namun kita lah yang harus berperan aktif dalam mengarahkan dan mengevaluasi hasilnya.

Maka, kita perlu menguasai dua macam kemampuan berpikir: kritis dan kreatif. Berpikir kritis artinya tidak menerima output dari AI begitu saja. Kita perlu memeriksa silang hasilnya dengan referensi yang bisa dipercaya. Sementara itu berpikir kreatif akan membantu kita mengubah hasil dari AI menjadi sesuatu yang unik dan orisinal.

Ingat, fotografer ahli yang kreatif, bisa menghasilkan foto yang unik dan bernilai meskipun ia hanya bermodalkan handphone saja.

Keempat, Kemampuan Komunikasi

Kemampuan terakhir yang perlu dikuasai agar optimal memanfaatkan AI adalah kemampuan komunikasi terutama dalam merumuskan pertanyaan dan memberikan konteks.

Semakin spesifik dan kontekstual pertanyaan yang kita ajukan, semakin baik dan relevan output yang dihasilkan oleh AI. Kemampuan ini, sering kali diistilahkan dengan prompt engineering. Sebuah istilah keren yang sebenarnya punya arti sederhana: bagaimana merumuskan pertanyaan yang spesifik dan kontekstual.

Kemampuan membuat prompt atau perintah untuk AI itu berbanding lurus dengan kemampuan kita dalam berkomunikasi. Semakin terampil kita berkomunikasi di dunia nyata, semakin terampil kita dalam menyusun perintah untuk AI.

Jadi, jangan hanya menggunakan perintah yang terlalu umum dan sederhana. Berikan perintah yang spesifik dan tambahkan dengan konteks yang sesuai. Perintah “buatkan cerpen” tentu saja tidak akan memberikan hasil yang lebih baik dengan perintah “Buatkan cerpen tentang seorang pekerja lepas yang menemukan rahasia kesuksesan setelah mengalami tiga kali kegagalan.” Apa lagi jika kita berikan informasi tambahan lain yang relevan, maka hasilnya akan semakin baik.

Jadi, kecerdasan buatan bukanlah pengganti dari kecerdasan manusia, bukan pengganti kecerdasan kita. Menggunakan kecerdasan buatan, tidak berarti membuat kita tidak perlu berpikir.

Kecerdasan buatan tidak menggantikan proses berpikir dan berkarya. Ia hanya alat yang membantu kita dalam proses berpikir dan berkarya.

Kita perlu terus mengasah penguasan kita dalam bidang spesifik yang ingin kita kuasai, kita juga perlu terus mengasah kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi.

Hal ini tidak hanya akan membuat Anda lebih terampil memanfaatkan kecerdasan buatan, ini juga akan membuat Anda lebih terampil dalam menjalani berbagai situasi dalam kehidupan.

Jadi, tidak perlu meributkan mana alat yang lebih hebat karena kehebatan sebuah alat hanya sehebat penggunanya!

Ingin mendapatkan artikel semacam ini langsung ke email Anda? Silakan join dengan email newsletter saya di sini.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di blog darmawanaji.com

--

--

Darmawan Aji
Darmawan Aji

Written by Darmawan Aji

Productivity Coach. Penulis 7 buku pengembangan diri. IG @ajipedia Profil lengkap: darmawanaji.com

Responses (2)